Artikel “Menanti Terobosan Pendidikan” yang dimuat di Kompas (23 Oktober 2024) menggarisbawahi harapan besar terhadap pemekaran kementerian di bidang pendidikan sebagai upaya memperbaiki tata kelola yang selama ini dirasa belum optimal. Pemisahan kewenangan antara pendidikan dasar dan menengah dengan pendidikan tinggi serta riset, dinilai sebagai momentum penting untuk menghadirkan perubahan yang lebih terfokus dan terstruktur.
Namun, pertanyaan mendasarnya adalah: apakah pemekaran kelembagaan saja cukup untuk menjawab berbagai persoalan mendasar pendidikan di Indonesia?
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita masih bergulat dengan persoalan klasik: kesenjangan kualitas guru, ketimpangan fasilitas antarwilayah, serta kebijakan kurikulum yang cenderung berubah tanpa kesiapan implementasi. Di sisi lain, pendidikan tinggi dan riset juga kerap bergerak sendiri, tanpa konektivitas yang kuat dengan kebutuhan masyarakat maupun industri.
Terobosan yang dibutuhkan tidak bisa semata diukur dari perubahan struktur birokrasi. Reformasi pendidikan yang sejati harus menyentuh langsung elemen-elemen paling mendasar: penguatan kompetensi guru, pemerataan sarana belajar, dan perumusan kurikulum yang kontekstual dengan tantangan zaman.
Investasi dalam pelatihan guru, misalnya, harus menjadi prioritas utama. Tidak sedikit guru yang belum mendapatkan pelatihan berkelanjutan sesuai tuntutan kurikulum terbaru. Tanpa dukungan ini, perubahan kebijakan akan berhenti sebagai dokumen di atas meja.
Pemerintah juga perlu memastikan bahwa digitalisasi pendidikan tidak hanya menjadi jargon. Masih banyak sekolah, khususnya di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), yang belum tersentuh akses internet maupun perangkat pendukung belajar daring. Ketimpangan ini harus menjadi perhatian serius.
Di samping itu, pemekaran kementerian perlu dibarengi dengan semangat kolaborasi antarsektor. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah, antara sekolah dan masyarakat, serta antara pendidikan dan dunia kerja harus diperkuat. Tanpa itu, pemisahan lembaga justru berisiko memperbesar jarak koordinasi dan memperumit eksekusi kebijakan.
Pendidikan Indonesia memang membutuhkan terobosan. Namun, terobosan itu seharusnya tidak berhenti pada ranah administratif. Ia harus hadir dalam bentuk keberpihakan yang nyata: pada guru, pada siswa, dan pada masa depan bangsa.
Toha Nasr April 10, 2025 Admin Bandung Indonesia"Ada dua kesamaan antara Steve Job, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg," kata Hashem Alghaili mengawali pemaparannya tentang pentingnya mengubah wajah pendidikan di acara TEDx Zagreb.
"Pertama, mereka adalah pendiri perusahaan raksasa di bidang teknologi, kedua mereka semua tak lulus kuliah."
Menurut Alghaili, ada empat masalah utama pada sistem pendidikan.
Pertama, Sistem pendidikan yang ada tak mampu memuaskan rasa ingin tahu siswa, juga gagap memenuhi kebutuhan setiap siswa. Steve Job, Bill Gates, dan Mark adalah contoh kegagalan itu hingga mereka memilih hengkang dari ruang kelas.
Kedua, Buku teks. Hashem menyebut buku teks pelajaran tak mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang kini terus berlari. Siswa terus dijejali oleh pengetahuan yang sebenarnya sudah out of date. Basi.
"Seberapa sering buku teks direvisi? Tiga tahun? Lima tahun? Padahal setiap hari pengetahuan baru lahir dan tak terakomodasi di buku pelajaran."
Ketiga, Sistem kelas. Sistem kelas sudah ada sejak pendidikan mulai diformalkan, ratusan tahun lalu, hingga kini tak berubah, siswa terkungkung oleh dinding bernama kelas. Pengelompokan bernama kelas ini tidak berdasarkan pada kesamaan minat, tapi dilakukan secara random. Tak hanya itu, sistem kelas tak memungkinkan siswa untuk menempati tingkatan sesuai kemampuannya. Ia harus melewati semua jenjang. Siswa tak bisa melompat dari kelas 3 ke kelas 5 misalnya, meski secara kognitif ia mampu. Tingkatan kelas tidak mencerminkan tingkat intelegensi.
Keempat, Sistem ujian. Ujian yang terstandardisasi menuntut semua siswa lulus dengan angka-angka yang telah ditentukan, akibatnya siswa tidak lagi berfokus pada pengetahuan yang harus ia kuasai. Sistem Ujian akhirnya mengubah siswa menjadi pencari nilai. Nilai yang kadang bisa dimanipulasi. Nilai tertulis yang tak ada gunanya di kehidupan nyata.
Hashem menyebut ada solusi dari keempat masalah tersebut.
Pertama, Memanfaatkan Teknologi secara optimal (Technologi Based). Kedua, Pendidikan berbasis minat individu (personalized education). Pendidikan sudah saatnya memberi ruang lebih besar pada teknologi. Penggunaan Machinery Learning, Augmented Reality, Virtual Reality, serta Artificial Intelegence(AI).
Penggunaan AI memungkinkan siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan bakatnya, penyediaan materi penunjang juga dapat disesuaikan berdasar keinginan dan tingkat penguasaan materi. Mesin belajar menjadi semacam asisten yang menyediakan segala kebutuhan siswa dalam proses belajar.
Augmented Reality dan Virtual Reality menjadikan proses belajar jadi lebih interaktif, menarik, dan menyenangkan.
Tak hanya membahas tentang bobroknya sistem pendidikan, Hashem Alghaili juga mengungkap fakta menarik, dalam polling yang dilakukannya di media sosial 95% persen followernya berpendapat bahwa sistem pendidikan negara mereka buruk. Artinya revolusi sistem pendidikan diperlukan oleh banyak negara, tak hanya di Indonesia.
Tapi, mengeluh tak menyelesaikan masalah, kita butuh solusi nyata.
Hashem menawarkan pendekatan teknologi, yang jika diterapkan bisa mengubah wajah pendidikan secara besar-besaran.
Disarikan dari pertemuan TEDx kota Zagreb oleh Hashem Alghaili, videonya bisa disaksikan di website ted.com. Toha Nasr Maret 21, 2020 Admin Bandung Indonesia
Sistem Pendidikan Kita Buruk, Tapi Kita Bisa Memperbaikinya
Membaca dan menulis dalam setting mengikat makna seperti yang dituturkan oleh Hernowo dalam banyak bukunya sebaiknya dilakukan setiap saat, kapan saja, dimana pun dan oleh siapa saja yang berminat memberdayakan dirinya. termasuk para guru.
Omjay pun dalam artikelnya Cara Gampang Menulis Buku menyarankan hal serupa :
Lantas kenapa kegiatan ini harus dilakukan setiap hari? itu tak lain karena kegiatan menulis adalah habit yang harus dicicil agar tak menjadi beban."Anda harus konsisten dan memiliki komitmen tinggi untuk melakukan kegiatan tulis menulis. Bila anda tak menulis hari ini, maka keesokan harinya anda harus menulis double untuk menebus kealpaan anda dalam menulis. Anda harus menghukum diri anda sendiri bila hari ini tidak menulis."
Sesungguhnya proses penyandingan membaca dan menulis amat penting dilakukan untuk melatih kita melakukan pengikatan makna. dengan kegiatan ini maka kita akan peroleh keuntungan ganda, pertama pemahaman kita tentang bacaan dapat menjadi lebih mendalam, kedua pengikatan makna juga berfungsi menarik pengetahuan kita kedalam tulisan yang baru saja kita baca.
Baca-tulis jika terus disandingkan tentu saja akan mempunyai efek yang luar biasa terutama bagi kita para guru. namun kita mesti terbiasa memahami kata 'membaca' dalam artian luasnya bukan hanya sekedar ejaan perkata namun lebih dari itu, membaca dapat dilakukan pada hal yang lebih besar seperti fenomena alam, pada tontonan di televisi, pada siaran berita, dan pada rupa-rupa kegiatan yang kita lakukan.
Tuliskan saja, bebaskan diri kita ketika menulis, tanggalkan aturan-aturan, biarkan otak kanan memegang kendali, biarkan tulisan mengalir lancar tanpa interupsi. Sungguh, jika sudah dilakukan secara rutin kegiatan baca-tulis ini akan menjadi terapi hebat bagi kita.
Selama ini, kegiatan baca-tulis kita hanya sebatas pada aspek penulisan huruf semata.padahal seharusnya pelajaran bahasa harus melatih kita cara berbicara dengan fasih, membaca buku dengan efektif, lantas menulis dalam menyampaikan sebuah pendapat dengan jernih, serta yang tak boleh dilupakan adalah keterampilan mendengarkan.
Artikel ini pernah terbit di portal guraru.org 9 Agustus 2012
Mahya Media Maret 12, 2019 Admin Bandung Indonesia
Inilah Manfaat Menulis yang Dahsyat Bagi Seorang Guru
Tak terlalu sulit untuk mengetahui kemampuan dan kualitas baca seorang guru. Amati saja kemampuan baca dan minat baca siswanya, kualitas guru tercermin pada kondisi siswanya. Bukankah guru adalah panutan (role model) yang patut digugu dan ditiru.
Minat baca sesungguhnya telah menjadi kekhawatiran nasional sejak lama, tepatnya 43 tahun yang lalu DPR Gotong Royong sampai merasa perlu mendirikan yayasan yang berhubungan dengan minat baca dan perpustakaan. nanum, hingga saat ini program baca tulis yang diakui sebagai masalah nasional dan menyangkut masa depan bangsa ini masih juga tertunda-tunda. Dewasa ini pun masyarakat Indonesia belum menempatkan buku sebagai media yang sangat penting bagi pencerdasan bangsa.
Siswa-siswa kita, utamanya tingkat sekolah dasar memiliki minat baca yang sangat memprihatinkan. Kemampuan membacanaya hanya menempati urutan ke 30 dari 31 negara yang diteliti oleh International Reading Achievement (IRA) dan menempati urutan ke 38 dari 39 negara yang diteliti oleh International Education Achievement (IEA). Apakah memang masyarakat kita mempunyai tingkat kecerdasan yang rendah, sehingga kurang melakukan aktivitas otak dalam melakukan kegiatan membaca. Badan Pusat Statistik merilis bahwa hanya 25,3 % orang Indonesia yang mau membaca, jumlahnya amat timpang bila dibandingkan dengan peminat acara-acara televisi yang tembus di angka 85,9%, bahkan dengan pendengar siaran radio pun jumlahnya masih jauh ketinggalan, penikmat segmen ini mencapai 40,3%. Itu baru kuantitasnya jumlah yang sedikit itupun sangat miskin dari segi kualitasnya. Tahun 2006 Progress International Reading Literacy Study (PIRIS) merilis hasil penelitian yang menyebut kemampuan membaca orang Indonesia berada pada taraf “sedang-sedang saja” dengan sedikit orang yang berkemampuan membaca baik, sedangkan yang mahir hanya 1% saja.
Tony Buzan (2005) mendenifisikan membaca sebagai hubungan timbal balik individu secara total dengan informasi simbolik, membaca biasanya merupakan aspek visual belajar. Sedang Hernowo berpendapat bahwa membaca sejatinya adalah melakukan pergulatan pengalaman batin dengan penulisnya. Membaca juga berarti membaca pengalaman batin orang yang menulis buku tersebut. Sehingga, dengan membaca pengalaman batin yang telah distrukturkan oleh seorang penulis, kita terbantu untuk mengenali struktur pengalaman batin kita.
Sekolah adalah institusi ideal bagi tumbuh kembang minat baca siswa. Perbaikan kualitas guru, melengkapi sarana dan prasarana, serta memupuk kebiasaan dan motivasi siswa untuk terus membaca adalah beberapa hal yang bisa dilakukan. Ketidakmampuan guru menumbuhkan minat siswa untuk membaca pastilah menjadi salah satu faktor penting, terlebih saat ini masih jarang guru yang memberi tugas baca pada siswanya. Wajar saja rasanya, toh gurunya pun tak memiliki gairah dalam membaca. Jika sudah begitu akan menjadi aneh untuk mendorong siswa agar membaca. Tak adanya minat baca di kalangan guru, turut mematikan minat baca di kalangan siswa. Belum lagi serbuan hiburan sejenis game online menjadi rintangan serius dalam menumbuhkan minat baca siswa.
Era informasi ini kegiatan membaca merupakan suatu keharusan yang mendasar untuk membentuk perilaku siswa. Membaca dapat menambah informasi serta memperluas pengetahuan dan kebudayaan. Tetapi, tanpa adanya minat siswa tak mungkin tertarik membaca. Minat adalah faktor terpenting dalam diri manusia. Motivasi saja tanpa minat menjadi tak berarti apa-apa.
Minat baca secara teknis adalah kemauan dan keinginan seseorang untuk mengenali huruf dan dapat mengikat makna dalam tulisan tersebut. Minat baca berarti suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan perasaan senang terhadap kegiatan membaca serta mengarahkan kegiatan membaca atas dasar kemauannya sendiri. Minat baca meliputi perasaan senang terhadap buku bacaan, kesadaran akan manfaat membaca, dan perhatian terhadap buku bacaan.
Membaca merupakan sarana penting bagi setiap orang yang ingin maju. Begitu pula dengan pelajar membaca merupakan suatu keharusan untuk meningkatkan pengetahuan juga hasil belajar. Karena membaca itu mencerdaskan, menjadikan mereka kritis serta berdaya nalar tinggi. Membaca membuat mereka merenung, berpikir dan mengembangkan kreatifitas berpikir.
Guru sebagai fasilitator di ruang kelas selain bertugas memberikan fasilitas penunjang kegiatan membaca sudah selayaknya dia menjadikan dirinya sebagai contoh bagi para siswa. Kegiatan membaca di kalangan guru harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan sehingga tidak dianggap sebgai beban. Keengganan membaca secara langsung mereduksi kemampuan keilmuannya. Menunjukkan arogansi terhadap ilmu pengetahuan, tidak mau belajar, serta merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya.
Peranan guru amat penting dalam peningkatan minat baca para siswa. Jika guru salah atau kurang tepat dalam menggunakan metode mengajar maka akan membuat siswa malas membaca. Tidak memberikan motivasi pada siswa untuk gemar membaca. Guru yang monoton, tidak memberi kesempatan, atau tidak menciptakan suasana diskusi dalam kelas, akan mematikan minat siswa untuk ingin tahu atau mencari suatu jawaban. Pembelajaran satu arah, seperti metode ceramah ataupun hanya mencatat materi akan membunuh kreativitas siswa dan menciptakan kelas yang pasif, kelas yang siswanya selalu menunggu apa yang akan diberikan oleh gurunya.
Sedangkan guru yang suka membaca pembelajaranya akan menarik karena dia mengajarkan materi dengan dikombinasikan pengetahuannya dari koran, majalah, buku ataupun internet yang dibacanya. Tidak ada alasan untuk tidak membaca. Tidak ada waktu, membaca bisa dilakukan di sela-sela jam sibuk. Tidak ada buku bisa pinjam di perpustakaan atau lebih baik jika membeli di toko buku.
Guru yang membaca ibaratnya, prajurit-prajurit tangguh yang terus berlatih dan mengisi senjatanya dengan amunisi ilmu pengetahuan. Kelak diharapkan, kegemaran membaca ini berlanjut dengan kegiatan menulis. Bisa berupa artikel, buku, dan menyusun penelitian tindakan kelas.
Maka, mari budayakan membaca!
Artikel ini pernah terbit di portal guraru.org 6 Agustus 2012
Sumber gambar: dakwatuna.com Mahya Media Maret 12, 2019 Admin Bandung Indonesia
Mengapa Indonesia Butuh Guru yang Gemar Membaca?
pertemuan sebelumnya saya sudah meminta mereka untuk membawa peralatan dan bahan yang diperlukan, yaitu :
- Kertas Karton
- Gunting
- Pensil
- Penggaris
“Jangan beri petunjuk lagi ya pak, biarkan kami menyelesaikannya terlebih dahulu” teriak seorang siswi dari deretan bangku belakang.
Namun, tetap adapula yang yang nyeletuk.
“Pusing pak, saya tidak bisa” keluhnya sembari mengernyitkan dahi
“Jangan bilang tidak bisa sebelum mencoba” sergah siswa lain di deretan tengah.
Saya hanya tersenyum melihat reaksi mereka, beberapa anak memang tidak terbiasa melakukan hal-hal menantang, mereka terbiasa ‘disuapi’ hingga daya juang dan kemauan untuk berpikirnya tidak terlatih.
“Benar kata teman kalian, jangan menyerah sebelum mencoba, bapak yakin kalian semua bisa menyelesaikan tantangan yang saya berikan” kata saya mencoba memotivasi mereka.
Menit-menit awal memang menjadi momen terberat, beberapa siswa masih terdengar mengeluh, beberapa lainnya bekerja dengan serius. Di kelas siswa perempuan (sekolah kami memisahkan siswa laki-laki dan perempuan) mereka menyelesaikan tantangan saya dengan cara menggambar jaring-jaring kecil di kertas, kemudian digunting dan langsung dicoba apakah jaring-jaring yang mereka buat dapat membentuk kubus, namun dikelas siswa laki-laki hal tersebut tidak mereka lakukan, mereka tampak dengan keras menggunakan imajinasi mereka untuk menemukan jaring-jaring kubus.
Melewati menit-menit awal, beberapa siswa berhhasil menemukan Jaring-jaring kubus yang diminta, ada pancaran kepuasan dimata mereka, kini mereka tak lagi keliahatan malas-malasan, tapi terlihat makin semangat untuk menemukan jaring-jaring kubus lainnya. tiap siswa tampak ingin menunjukkan bahwa mereka bisa. dan pada akhirnya mereka memang bisa!
Setelah menemukan kesemua jaring-jaring kubus, para siswa saya minta membuatnya menggunakan kertas karton, mereka berkumpul berkelompok untuk membuat satu jaring yang berbeda untuk tiap kelompok, setelah berhasil mereka lalu membentuknya menjadi sebuah kubus.
Beberapa kelompok dengan inisiatif sendiri menuliskan Luas permukaan kubus yang mereka buat, berserta volume kubus tersebut, lengkap dengan rumus dan cara pengerjaannya.
Artikel ini pernah terbit di portal guraru.org 17 Mei 2013 Mahya Media Maret 12, 2019 Admin Bandung Indonesia
Merancang Pembelajaran Matematika yang Menyenangkan
Begini Cara Memanfaatkan Film dalam Proses Pembelajaran di Kelas
"Anak-anak malas, selalu ada alasan tak mengerjakan PR" kata seorang rekan yang baru saja keluar dari kelas yang ada dibelakang anak-anak malang tadi.
![]() |
Adegan film Taare Zameen Par |
Bagaimana seharusnya seorang guru memberikan hukuman? Guru, sudah sewajarnya paham akan pentingnya motivasi belajar dalam kegiatan belajar mengajar. Guru sebagai fasilitator proses belajar mengajar amat perlu mempertahankan semangat belajar siswa. Terbukti siswa hanya akan giat belajar jika mereka termotivasi untuk belajar. Dengan demikian maka guru perlu mengenal cara-cara untuk memotivasi belajar siswa agar pembelajaran tetap berlangsung seperti yang diinginkan guru.
Begitu pula dengan pemberian tugas semisal PR, tugas sebisa mungkin jangan membebani siswa diluar batas kemampuannya. Tugas yang terlalu memberatkan justru melemahkan motivasi siswa untuk menyelesaikannya, akhirnya siswa memilih untuk tidak mengerjakan tugas tersebut. Menghadapi siswa yang tak mengerjakan PR terkadang pendidik cepat tersulut emosi, sehingga terburu-buru memutuskan bentuk hukuman. Hukuman yang paling lazim adalah dijemur menghormat bendera, berlari keliling lapangan, push up atau menghukum siswa berdiri di depan kelas sepanjang jam pelajaran berlangsung. Hukuman yang hanya bersifat fisik jauh dari kesan mendidik, hukuman seperti ini harus dijauhi oleh guru.
Sanksi Mendidik
Sebagai lembaga pendidikan, maka semua proses didalamnya haruslah mengandung unsur mendidik, sekolah bukan lembaga peradilan yang bertugas memberi hukuman pada siswa yang divonis bersalah. Oleh karena itu segala sesuatu yang dilakukan oleh sekolah haruslah dimaknai sebagai bagian dari proses pendidikan, termasuk didalamnya ketika harus memberikan sanksi pada peserta didik yang melanggar.
Bagaimanapun juga siswa yang bersalah harus tetap diberi sanksi supaya menimbulkan efek jera, baik bagi siswa bersangkutan ataupun siswa lainnya. Oleh karena itu, memberi hukuman yang mendidik bukanlah hal yang sederhana. Disatu sisi, hukuman harus ‘membebani’ agar menjadi efek jera, tapi disisi lain harus tetap memiliki muatan pendidikan.
Tegur, Jangan Mencela
Bentuk hukuman yang paling sering dilakukan adalah dengan cara memberi teguran. Cara ini dirasa lebih baik jika dibanding dengan kecaman, bentakan ataupun sindiran, selain itu cara ini juga lebih mendidik. Celaan terhadap siswa harus dihindari oleh guru, karena memungkinkan akan menerbitkan rasa putus asa siswa sehingga membunuh motivasi belajarnya.
Penugasan untuk tanamkan rasa tanggung jawab
Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan memberi penugasan, hukuman ini dapat menjadi alternatif bagi siswa yang tidak mengerjakan PR, lupa membawa buku tugas, perbaikan nilai setelah remidi lebih dari 2 kali dan sebagainya. Penugasan pun harus diberikan dengan banyak variasi, hal ini untuk menghindari kebosanan siswa terhadap tugas yang diberikan. Intensitas tugas juga harus menjadi perhatian, jangan terlalu sering, jangan pula terlalu jarang.
Menulis untuk melatih argumen
Bentuk hukuman lain yang dapat digunakan adalah ‘menulis’. Daripada meminta siswa menulis satu kalimat secara berulang-ulang, rasanya lebih bermanfaat jika guru meminta siswa membaca buku diperpustakaan dan mengumpulkan resensinya, mencari informasi tertentu di internet, membuat kliping tentang suatu tema dari Koran atau majalah dsb.
Hukuman yang baik juga tak boleh mempermalukan harga diri siswa yang membuat kesalahan. Hukuman yang mempermalukan siswa jika tak terkelola akan menyulut dendam yang justru berpotensi membuat siswa melakukan kesalahan yang lebih besar.
Jadi dalam pembelajaran di kelas guru dapat memberikan hukuman yang mendidik kepada siswa supaya selain membuat efek jera tetapi juga siswa mendapatkan manfaat positif dari hukuman tersebut, sehingga dapat lebih meningkatkan motivasi belajar dan nantinya meningkatkan juga hasil belajar.
Akan tetapi, jika kesalahan siswa dapat diperbaiki tanpa hukuman tentu akan lebih baik, karena tujuan utama memberi sanksi adalah agar siswa tak mengulangi lagi kesalahan yang sama. Namun yang pasti, jika harus dihukum, apapun bentuknya hukuman tak boleh mematikan motivasi belajar siswa.
Artikel ini pernah terbit di portal kesekolah.com pada 9 September 2013 Mahya Media Maret 12, 2019 Admin Bandung Indonesia