Tak terlalu sulit untuk mengetahui kemampuan dan kualitas baca seorang
guru. Amati saja kemampuan baca dan minat baca siswanya, kualitas guru
tercermin pada kondisi siswanya. Bukankah guru adalah panutan (
role
model) yang patut digugu dan ditiru.
Minat baca sesungguhnya telah menjadi kekhawatiran nasional sejak lama,
tepatnya 43 tahun yang lalu DPR Gotong Royong sampai merasa perlu
mendirikan yayasan yang berhubungan dengan minat baca dan perpustakaan.
nanum, hingga saat ini program baca tulis yang diakui sebagai masalah
nasional dan menyangkut masa depan bangsa ini masih juga tertunda-tunda.
Dewasa ini pun masyarakat Indonesia belum menempatkan buku sebagai
media yang sangat penting bagi pencerdasan bangsa.
Siswa-siswa kita, utamanya tingkat sekolah dasar memiliki minat baca
yang sangat memprihatinkan. Kemampuan membacanaya hanya menempati urutan
ke 30 dari 31 negara yang diteliti oleh International Reading
Achievement (IRA) dan menempati urutan ke 38 dari 39 negara yang
diteliti oleh International Education Achievement (IEA). Apakah memang
masyarakat kita mempunyai tingkat kecerdasan yang rendah, sehingga
kurang melakukan aktivitas otak dalam melakukan kegiatan membaca. Badan
Pusat Statistik merilis bahwa hanya 25,3 % orang Indonesia yang mau
membaca, jumlahnya amat timpang bila dibandingkan dengan peminat
acara-acara televisi yang tembus di angka 85,9%, bahkan dengan pendengar
siaran radio pun jumlahnya masih jauh ketinggalan, penikmat segmen ini
mencapai 40,3%. Itu baru kuantitasnya jumlah yang sedikit itupun sangat
miskin dari segi kualitasnya. Tahun 2006 Progress International Reading
Literacy Study (PIRIS) merilis hasil penelitian yang menyebut kemampuan
membaca orang Indonesia berada pada taraf “sedang-sedang saja” dengan
sedikit orang yang berkemampuan membaca baik, sedangkan yang mahir hanya
1% saja.
Tony Buzan (2005) mendenifisikan membaca sebagai hubungan timbal balik
individu secara total dengan informasi simbolik, membaca biasanya
merupakan aspek visual belajar. Sedang Hernowo berpendapat bahwa membaca
sejatinya adalah melakukan pergulatan pengalaman batin dengan
penulisnya. Membaca juga berarti membaca pengalaman batin orang yang
menulis buku tersebut. Sehingga, dengan membaca pengalaman batin yang
telah distrukturkan oleh seorang penulis, kita terbantu untuk mengenali
struktur pengalaman batin kita.
Sekolah adalah institusi ideal bagi tumbuh kembang minat baca siswa.
Perbaikan kualitas guru, melengkapi sarana dan prasarana, serta memupuk
kebiasaan dan motivasi siswa untuk terus membaca adalah beberapa hal
yang bisa dilakukan. Ketidakmampuan guru menumbuhkan minat siswa untuk
membaca pastilah menjadi salah satu faktor penting, terlebih saat ini
masih jarang guru yang memberi tugas baca pada siswanya. Wajar saja
rasanya, toh gurunya pun tak memiliki gairah dalam membaca. Jika sudah
begitu akan menjadi aneh untuk mendorong siswa agar membaca. Tak adanya
minat baca di kalangan guru, turut mematikan minat baca di kalangan
siswa. Belum lagi serbuan hiburan sejenis game online menjadi rintangan
serius dalam menumbuhkan minat baca siswa.
Era informasi ini kegiatan membaca merupakan suatu keharusan yang
mendasar untuk membentuk perilaku siswa. Membaca dapat menambah
informasi serta memperluas pengetahuan dan kebudayaan. Tetapi, tanpa
adanya minat siswa tak mungkin tertarik membaca. Minat adalah faktor
terpenting dalam diri manusia. Motivasi saja tanpa minat menjadi tak
berarti apa-apa.
Minat baca secara teknis adalah kemauan dan keinginan seseorang untuk
mengenali huruf dan dapat mengikat makna dalam tulisan tersebut. Minat
baca berarti suatu perhatian yang kuat dan mendalam disertai dengan
perasaan senang terhadap kegiatan membaca serta mengarahkan kegiatan
membaca atas dasar kemauannya sendiri. Minat baca meliputi perasaan
senang terhadap buku bacaan, kesadaran akan manfaat membaca, dan
perhatian terhadap buku bacaan.
Membaca merupakan sarana penting bagi setiap orang yang ingin maju.
Begitu pula dengan pelajar membaca merupakan suatu keharusan untuk
meningkatkan pengetahuan juga hasil belajar. Karena membaca itu
mencerdaskan, menjadikan mereka kritis serta berdaya nalar tinggi.
Membaca membuat mereka merenung, berpikir dan mengembangkan kreatifitas
berpikir.
Guru sebagai fasilitator di ruang kelas selain bertugas memberikan
fasilitas penunjang kegiatan membaca sudah selayaknya dia menjadikan
dirinya sebagai contoh bagi para siswa. Kegiatan membaca di kalangan
guru harus dilakukan dengan cara yang menyenangkan sehingga tidak
dianggap sebgai beban. Keengganan membaca secara langsung mereduksi
kemampuan keilmuannya. Menunjukkan arogansi terhadap ilmu pengetahuan,
tidak mau belajar, serta merasa puas dengan ilmu yang dimilikinya.
Peranan guru amat penting dalam peningkatan minat baca para siswa. Jika
guru salah atau kurang tepat dalam menggunakan metode mengajar maka
akan membuat siswa malas membaca. Tidak memberikan motivasi pada siswa
untuk gemar membaca. Guru yang monoton, tidak memberi kesempatan, atau
tidak menciptakan suasana diskusi dalam kelas, akan mematikan minat
siswa untuk ingin tahu atau mencari suatu jawaban. Pembelajaran satu
arah, seperti metode ceramah ataupun hanya mencatat materi akan membunuh
kreativitas siswa dan menciptakan kelas yang pasif, kelas yang siswanya
selalu menunggu apa yang akan diberikan oleh gurunya.
Sedangkan guru yang suka membaca pembelajaranya akan menarik karena dia
mengajarkan materi dengan dikombinasikan pengetahuannya dari koran,
majalah, buku ataupun internet yang dibacanya. Tidak ada alasan untuk
tidak membaca. Tidak ada waktu, membaca bisa dilakukan di sela-sela jam
sibuk. Tidak ada buku bisa pinjam di perpustakaan atau lebih baik jika
membeli di toko buku.
Guru yang membaca ibaratnya, prajurit-prajurit tangguh yang terus
berlatih dan mengisi senjatanya dengan amunisi ilmu pengetahuan. Kelak
diharapkan, kegemaran membaca ini berlanjut dengan kegiatan menulis.
Bisa berupa artikel, buku, dan menyusun penelitian tindakan kelas.
Maka, mari budayakan membaca!
Artikel ini pernah terbit di portal guraru.org 6 Agustus 2012
Sumber gambar: dakwatuna.com